KRISIS. Sebuah kata yang luar biasa populer akhir-akhir ini. Barangkali, kalau ada riset yang menghitung jumlah kata ‘krisis’ (bisa diikuti dengan keuangan, ekonomi, atau global) yang disebut (secara resmi maupun tidak),dalam pernyataan yang dilontarkan di media (tertulis maupun lisan), kemungkinan besar kata inilah yang menduduki ranking pertama dalam kategori ‘paling sering disebut’.
Kata ’krisis’ begitu mendunia, tak hanya di negara miskin dan berkembang (sebagaimana biasanya, kata krisis paling kuat relevansinya dengan ‘miskin’ dan ’lemah’), tetapi juga di negara yang selama ini jauh dari bayangan krisis, malah yang biasanya membantu atau mengendalikan negara yang mengalami krisis. Kata ’krisis’ juga banyak menghiasi sidang-sidang evaluasi akhir tahun dan perencanaan tahun depan,diskusi-diskusi dan seminar, janji-janji kampanye politisi, dan tentu saja adalah –meski sudah bosan meneriakkannya- menjadi pekikan frustasi rakyat.
KRISIS. Sebuah kata yang luar biasa populer akhir-akhir ini. Barangkali, kalau ada riset yang menghitung jumlah kata ‘krisis’ (bisa diikuti dengan keuangan, ekonomi, atau global) yang disebut (secara resmi maupun tidak),dalam pernyataan yang dilontarkan di media (tertulis maupun lisan), kemungkinan besar kata inilah yang menduduki ranking pertama dalam kategori ‘paling sering disebut’.
Kata ’krisis’ begitu mendunia, tak hanya di negara miskin dan berkembang (sebagaimana biasanya, kata krisis paling kuat relevansinya dengan ‘miskin’ dan ’lemah’), tetapi juga di negara yang selama ini jauh dari bayangan krisis, malah yang biasanya membantu atau mengendalikan negara yang mengalami krisis. Kata ’krisis’ juga banyak menghiasi sidang-sidang evaluasi akhir tahun dan perencanaan tahun depan,diskusi-diskusi dan seminar, janji-janji kampanye politisi, dan tentu saja adalah –meski sudah bosan meneriakkannya- menjadi pekikan frustasi rakyat.
Menyongsong 2009, menyambut pemilu dan pemerintahan baru, krisis menjadi menu kata yang setiap saat harus ditelan. Kata ini terlontar dalam berbagai bentuk: mengancam, menakut-nakuti, tetapi ada juga yang membangun semangat dan menyulut kreativitas. Bagi bangsa
Kekhawatiran ini tentu tak menjadi sebuah ketakutan, bila sejak dulu kita merawat Usaha Kecil Menengah (UKM).UKM tak terlalu mengandalkan ‘belas kasihan’ pihak luar, dan memiliki karakter lebih liat, gesit dan luwes. Tak banyak menggunakan bahan impor, tak mengandalkan pasar ekspor. Manajemen ramping dan butuh modal besar, justru memanfaatkan dan mengeksplore potensi dalam negeri yang begitu kaya. Bagi bank, penyaluran kredit ke kelas ini pun lebih aman, dibanding ke kelas pekerja menengah yang nasibnya terancam PHK. Tentu, harus ada kepedulian sosial perbankan untuk ‘mengasuh’ para UKM ini agar familiar dengan bank. Bank, bukan sekadar menjadikan UKM sebagai mangsa yang menguntungkan bank, tetapi juga menjadikan mereka sahabat.
Mengutip ungkapan klise, meski agak terlambat, tapi lebih baik dari pada tidak. Kini, saatnya memperkuat fondasi perekonomian bangsa yang bertumpu pada diri sendiri, dan tak mengemis-ngemis belas kasihan orang lain. Potensi UKM yang demikian besar, menjadi kekuatan bagi negeri ini. Kita bisa belajar dari banyak negara yang berhasil tanpa bergantung pada kendali pihak asing. Kata krisis, mari kita jadikan sebagai senandung ceria yang maknanya adalah semangat untuk ’bangkit’, ’bediri tegak’ untuk melangkah ke depan, membangun kekuatan dan kebanggaan, sebagai negeri yang besar, kaya dan berbudaya. (Cikeas I-09))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar