Minggu, 24 Januari 2010

Facebook, Luna Maya, Infotainment, dan Gurita Cikeas

Facebook (FB). Tak ada yang meragukan kecanggihannya. Dampaknya, terutama dalam membangun jaringan sangat dahsyat. Dan beberapa tahun terakhir, di Indonesia, pengguna fb (facebooker) jumlahnya tak terbendung, tua muda, laki perempuan, kaya miskin, semuanya, seolah-olah kalau tidak ber-fb… “nggak gaul”, atau akan muncul komentar melecehkan: “Hari geenee, nggak ver-fb….”


Sebagaimana hukumnya, kemajuan teknologi (juga kemajuan di bidang lain, misalnya obat-obatan, narkotika, bom, dll) berdampak sangat positif terhadap kemajuan hidup umat manusia apabila digunakan untuk tujuan positif. Obama pun juga menggunakan media internet sebagai salah satu alat kampanyenya. Di Indonesia, bisnis-bisnis kecil menengah juga banyak yang berhasil karena memanfaatkan fb. Lepasnya Bibit Chandra dari jeratan “kriminalisasi” pada kasus “Cicak-Buaya” juga salah satunya karena dukungan fb-er yang luarbiasa.


Tetapi sebaliknya, akan berdampak negatif yang tak kalah luarbiasanya bila digunakan untuk tujuan negatif. Kantor-kantor banyak yang melarang karyawannya ber-fb pada jam kantor, karena sangat mengganggu produktivitas (sebagaimana biasanya, keasyikan dengan sesuatu yang baru, lupa dengan tugas utama, apalagi yang memang dasarnya pemalas atau tukang gossip, rasanya menderita kalau sehari tak buka fb). Kisah selingkuh juga banyak terjadi akibat ber-fb. Berantem dan relasi rusak akibat ber-fb pun tak jarang. Dll.dll. Lewat fb, seseorang bisa bebas curhat dan ngomong apa pun, termasuk yang membuat ‘panas’ orang lain. Bagi orang yang ‘tidak pernah” berani ngomong saat berhadapan, juga menjadikan fb sebagai tempat menumpahkan makian. Bagi yang narsis, wah, fb benar-benar menjadi media yang sangat dicintai… dan sekarang muncul twitter, setipe dengan fb, dengan format yang berbeda (seperti sebelumnya, fb menggeser friendster), dan lain-lain yang semacamnya.


Luna Maya. Tentu saja cantik. Namanya juga artis, minimal bermodal fisik, apalagi berangkatnya sebagai seorang model. Menarik? Tunggu dulu! Kalau menarik –setidaknya menurut kriteria saya- itu harus melibatkan brain dan behaviour. Atau, biar tidak dituduh meniru slogan pemilihan Puteri Indonesia, saya bilang saja menjadi menarik itu selain fisik, juga menyangkut “isi” dan “attitude”. Bagi saya sih banyak aritis lain,yang jauh lebih menarik dari Luna Maya. Sebut saja Tamara Blezinky atau Dian Sastro yang kharismatik, yang ‘hawa’nya pun membuat orang serasa tersedot (seperti axe effect saja). Dibanding yang muda-muda pun (misalnya Agnes Monica, BCL dan banyak lagi) Luna tergolong biasa-biasa saja. Sebagai presenter, garing. Acting, tidak istimewa. Nyanyi? Tak jelas suaranya. Nah, umpatannya di twitter tentang infotainment, menunjukkan kualitas dia.


Lepas dari bobrok atau haram orang menilai infotainment, dan lepas dari UU IT (karena saya tidak sedang membahas kasus hukum yang berkaitan dengan UU IT) tetapi bukan hanya Luna yang dikejar dan ‘diobok-obok’ masalah pribadinya oleh infotainment, dan banyak juga yang berhasil mengatasinya dengan baik. Agnes mengaku paling tak suka masalah pribadinya dibawa ke publik, tapi toh dia bisa menghadapi kejaran infotainment yang bolak-balik mengumbar sensasi tentang hubungannya dengan beberapa lelaki. Toh, meski pelit dengan info kehidupan pribadinya, Agnes juga tetap muncul di media hiburan itu, karena kalau masalah pribadinya tak bisa diungkap, prestasinya banyak yang bisa disuguhkan ke publik.


Banyak yang sepakat, salah satu konsekuensi menjadi artis, ya siap masalah pribadinya menjadi konsumsi publik, menjadi milik publik katanya. Ibaratnya, tidurnya seperti apa, tengkurap atau miring, pun menarik perhatian publik. Memang sangat tidak nyaman. Dan karena ini sebuah konsekuensi (toh banyak konsekuensi positif lainnya), maka kematangan pribadi sang artis lah yang berperan dalam mengelola masalah yang satu ini.


Maka, ketika dalam sebuah media nasional Luna menyatakan ketidaksukaannya berada dalam ‘kepura-puraan’ atau ke-basabasian’ yang harus dilakukannya sebagai seorang artis, saya melihatnya ketidakdewasaan pribadinya. Tidak suka berpura-pura atau berbasa basi, atau lebih suka apa adanya, tentu pribadi yang pantas diacungi jempol, tetapi bukan berarti bersikap tidak simpatik. Apalagi kalau dia menolak konsekuensi ‘kehidupan pribadinya’nya menjadi konsumsi publik, dengan sikap yang tidak seindah wajah dan penampilannya. Bukankah kehidupan artis yang telah membawanya ke sebuah kehidupan ‘sukses’ sekarang ini telah dinikmatinya? Sebuah kesuksesan, di bidang apa pun, apapun bentuknya, selalu menyertakan konsekuensi. Kalau yang enak-enak bisa dinikmati, yang tidak enaknya, ya mau tidak mau harus ditelan, kalau bisa dinikmati juga!


Ingat, kehidupan keluarga kerajaan Inggris pun menjadi santapan media. Selebritis kelas dunia, Brad Pitt-Angelina, Tom Cruise, dll, urusan pribadinya juga tak pernah luput dari bulan-bulanan media.


Infotainment. Ketika saya kebetulan memiliki waktu agak longgar, sehingga sempat ”menikmati’ infotainment (karena tak ada acara lain yang bisa dinikmati juga), saya terheran-heran. Disamping terhibur, muncul juga rasa sebel, bahkan marah. Gila, pikir saya, pribadi dan masalah orang bagai diaduk-aduk, sesuatu yang tenang bisa menjadi kacau, yang jernih bisa menjadi keruh, yang tak ada apa-apa jadi ada apa-apa. Malah sempat sebuah pertanyaan berkecamuk, ”dosa nggak sih, para pekerja infotainment itu?”. Ya tapi urusan dosa kan bukan urusan saya, dan saya tidak punya hak apapun untuk menempelkan stempel ’dosa’ pada manusia lain.


Tapi, sebagai seorang yang pernah bekerja di sebuah majalah berita yang baik kredibilitasnya, saya juga agak prihatin dengan infotainment. Mereka begitu bergairah dan bersemangat mengungkap masalah pribadi para seleb itu. Mereka sering melakukan investigasi untuk menggali informasi dan konflik ’pribadi’, mereka juga mengejar nara sumber (seleb) tanpa lelah, layaknya jurnalis sejati. Apakah mereka juga akan melakukan hal yang sama untuk mengejar koruptor atau politikus busuk, misalnya? Wah.... tapi sekali lagi, saya tidak bermaksud ’underestimate’, tentu mereka tidak ada urusan dengan koruptor. Yang mengejar penjahat rakyat kan ada wartawan berjenis lain. Dan yang juga tak bisa dipungkiri, infotainment, dicaci seperti apa, tetap dirindukan penonton. Dipelototi, dan sering jadi bahan diskusi oleh berbagai ’komunitas’.


Gurita Cikeas. Di awal-awal bergulirnya isu buku ”Gurita Cikeas”, saya sudah mengira-ngira ’kualitas’ buku tersebut, meski belum membacanya. Meski kualitas GA tak diragukan (dan saya sempat mengaguminya), tetapi buku yang ini tak mencerminkan kelasnya, atau tepatnya GA tak menjaga reputasinya (entah kenapa dia tak memperhitungkan ini). Pertama yang tersirat di benak saya (sebelum bola liar menggelinding panas) adalah, seorang jurnalis, atau cendekiawan, apabila akan mempublikasikan sesuatu salah satu syarat utamanya adalah akurasi, apalagi menyangkut topik penting dan berdampak besar. Salah satunya dengan melakukan cek data dan konfirmasi. Beberapa pihak yang akhirnya buka suara (tanpa menutup kemungkinan adanya beberapa data yang benar), membuktikan bahwa buku ini, bisa dibilang tidak ilmiah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.


Kedua, saya juga punya keyakinan isi buku ini tidak akurat, karena sedikit banyak saya tahu tentang salah satu yayasan yang disebut dalam buku itu. Jauh dari ’hipotesa’ atau malah ’kesimpulan’ yang dibuat GA. Tentu saja, bukan berarti yayasan tersebut bersih dari percikan noda, tentu –seperti dalam berbagai institusi dan lembaga- banyak juga tangan-tangan oknum yang berlumur lumpur.


Jadi, meski merasa tak begitu penting untuk membahas buku ”Gurita Cikeas’, saya tetap bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang GA bisa melahirkan karya yang tak mempertimbangkan kredibilitas dan reputasinya? Bagaimana mungkin, seorang GA yang demikian berkelas, mempublikasikan sesuatu yang penting dengan cara-cara –seperti yang juga dilakukan Luna Maya- yang tidak ”berkelas’? Atau mungkinkah GA hanya sekadar berniat mengumbar sensasi macam gosip di infotainment?