Senin, 15 Juni 2009

Dalam Kondisi Krisisnya Krisis, Otak Kanan Mesti Lebih Dipakai

Membaca Buku “A Whole New Mind” nya Daniel H Pink, sebuah perasaan bungah menyusup ke hati. Buku itu mengupas tentang otak kanan yang memegang peran vital di era kini dan mendatang. Jaman kejayaan otak kiri yang dipuja-puja telah lewat. Kini, untuk menggenggam dunia tak hanya cukup dengan kecerdasan otak kiri, tetapi harus dilengkapi dengan kecerdasan otak kanan. Tak pelak lagi, bagi yang hanya mengandalkan IQ, kini selesai karirnya, karena telah tergantikan oleh mesin atau teknologi.

Dulu, profesi idaman adalah dokter atau insinyur. Belakangan karir di bidang teknologi informasi luarbiasa seksi, hingga para professional di bidang ini tampak gagah dan berjalan dengan kepala mendongak. Para orangtua pun menjejali impian bagi anaknya supaya menjadi seorang insinyur atau dokter. Coba, anak-anak jaman dulu kalau ditanya cita-citanya, jawabnya pasti tak jauh-jauh dari “jadi dokter”, atau “insinyur”. Mana ada yang bercita-cita jadi “penulis”, atau “seniman”, atau “aktivis sosial”, atau “desainer”. Kalau pun ada, pasti orangtuanya cepat-cepat ‘meluruskan’ sesuatu yang dianggap aneh itu.

Kini, menurut Daniel Pink, era itu telah berubah. Keahlian zaman sebelumnya –kemampuan otak kiri- yang memberikan kekuatan zaman informasi, diperlukan namun tak lagi mencukupi. Dan kemampuan yang dulunya kita rendahkan atau remehkan –kualitas otak kanan- (kemampuan menemukan hal baru, empati,kegembiraan dan memaknai), semakin menentukan, siapa yang akan berkembang dan siapa yang akan mandeg. Untuk individu, keluarga, organisasi, professional sukses dan kebahagiaan pribadi, sekarang ini membutuhkan suatu pemikiran baru yang utuh.

Saya jadi ingat ketika masih di Sekolah Dasar. Meskipun tinggal di kampung dan tak ada tukang koran yang mau mengantar Koran ke rumah, karena tak ada pelanggan lain di kampung saya, tetapi kami sekeluarga tak pernah kekurangan bacaan. Setiap dari kami yang pergi ke kota pasti membawa Koran –kadang sudah lewat harinya- majalah, buku, atau apa saja yang bisa dibaca. Koran kadaluarsa pun tetap kami baca dengan detil. Kami masih bersyukur, karena masih mampu membeli bacaan-bacaan itu meski harus ke kota.

Lalu saya mulai memiliki sahabat pena di berbagai kota, yang saya pilih melalui tulisan-tulisan mereka di berbagai surat kabar dan majalah. Saya juga mulai menulis beberapa puisi dan cerpen untuk rubrik anak-anak di majalah sekolah dan majalah lokal. Ketika kakak saya nanya, mau jadi apa kamu nanti? Saya pun menjawab: “Saya pingin nulis di Koran atau Majalah”. Saya tidak tahu, apa profesi mereka dan dimana sekolahnya.

Ketika tiba penjurusan di SMA, saya dimasukkan ke jurusan eksakta karena matematika dan psiko test saya bagus. Seluruh keluarga mendukung. Saya pun, meski sudah punya tujuan nanti kuliah di bidang non eksak tetapi tetap masuk di jurusan Eksakta, Bagi saya penting, sebab saya harus memperkuat fondasi. Betapa pun orang mengatakan bahwa semua jurusan sama, sebab bakat masing-masing siswa berbeda, tetapi faktanya adalah jurusan eksakta lebih di-anakemas-kan di banding non eksak. Anak-anak yang bisa masuk ke jurusan ini, dianggap lebih cerdas dan memiliki IQ lebih tinggi, dan tentu saja masa depan yang cerah. Tak heran, cara mengajar guru-guru pun berbeda, kesemoatan untuk mengikuti berbagai lomba lebih diprioritaskan bagi jurusan eksakta. Di luar itu, masalah kedisiplinan, ketekunan, dan sebagainya, anak-anak eksakta tampak lebih menonjol. Maka tanpa ragu, saya masuk ke jurusan itu, perkara nanti di universitas melanjutkan jurusan apa, itu lebih gampang.


Ternyata tak segampang yang saya duga. Keputusan memilih jurusan di universitas tak sepenuhnya menjadi hak saya. Seluruh keluarga ikut memutuskan dan seluruh keluarga mengajukan pilihan yang sama, berbeda dengan keputusan saya pribadi. Ketika tahu saya hanya diterima di jurusan komunikasi (di 2 universitas di Semarang dan Solo), maka tak pelak lagi seluruh keluarga kecewa. Saya yang sangat gembira, dengan percaya diri akan memilih yang di semarang, sebab saya sudah membayangkan akan bertemu para penulis dan seniman yang namanya sudah sering saya baca di koran. Di semarang juga ada koran daerah yang besar dimana saya bisa kuliah sambil praktek di sana.


Keinginan yang meluap itu menciut sebab rapat keluarga memutuskan, saya di Solo saja. Ya, buat apa jauh-jauh kalau hanya di jurusan komunikasi. Kalau di Kedokteran atau Teknik, ya bolehlah.... Tapi bakat memberontak saya keluar. Adu argumentasi tak menemukan kata sepakat, saya tetap ingin di Semarang, keluarga tetap ingin saya di Solo. Akhirnya saya mengambil keputusan. ”Saya tahu, jurusan ini tidak menjanjikan. Jadi, ya sudah, saya tidak kuliah saja,”. Tentu keputusan tersebut diikuti dengan aksi mogok. Masuk kamar, dikunci, mogok bicara, mogok bertemu, mogok makan (tetapi kalau malam kelaparan, diam-diam ke dapur mencari makanan).

Sehari menjelang pendaftaran ulang di universitas, ada yang mengetok kamar saya: ”Besok kamu mau diantar kakakmu mendaftar ulang di Semarang,” suara kakak ipar saya. Horee, saya meloncat membuka pintu. Aksi mogok saya membuahkan hasil. Saya berjanji akan memanfaatkan masa kuliah saya sebaik mungkin.

Kini, lihatlah..... dunia seni, tulis menulis, periklanan, Public Relations, desain, dan lain-lain sangat mendominasi. Kata Daniel Pink, Ahli hukum, ahli radiologi, insinyur perangkat lunak komputer, dll, profesi yang dulu didambakan untuk kita oleh orangtua kita, kini keliru. Masa depan diperuntukkan bagi insan yang berbeda dengan akal pikiran yang berbeda.

Daniel bilang, era yang didominasi ‘otak kiri’ (juga era informasi yang ditimbulkannya) membuka jalan bagi dunia baru, dimana kemampuan ‘otak kanan’ yang artistik dan holistik akan membuat batasan antara mereka yang maju dan mereka yang tertinggal.

Perlu suatu pemikiran baru yang utuh, yaitu ‘konsep tinggi’ dan ‘menyentuh hati’, dan akan terjadi sebuah perubahan besar yang kompleks. Perpindahan suatu ekonomi dan masyarakat dari zaman informasi yang dibangun berdasarkan pemikiran logis, linear mirip komputer, menuju ke ekonomi dan masyarakat yang dibangun berdasarkan kemampuan menemukan hal baru, sikap empati, kemampuan menangkap gambaran besar di jaman yang sedang bangkit, yakni zaman konseptual. Inilah zaman yang dijiwai oleh cara pikir berbeda dan pendekatan hidup yang baru, zaman yang menghargai talenta, yang oleh Daniel Pink dinamakan “Konsep Tinggi” (High Concept) dan “Menyentuh Hati” (High Touch).

Tentu saja, kekuatan otak kanan ini amat sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Seorang Insinyur yang sangat cerdas, tapi tak mampu menangkap gambaran jaman yang sedang bangkit, tak punya empati, tentu tak akan berhasil. Soekarno, Presiden pertama RI, seorang Insinyur, tetapi dia tak akan menjadi ’magnet’ yang membuat rakyat berduyun duyun mendengarkan pidatonya kalau otak kanannya lemah. Soekarno tak akan mampu membangun nasionalisme di jiwa rakyat Indonesia kalau dia tak menggunakan empati dalam merangkul rakyat. Soekarno tak akan menghasilkan buku-buku yang inspiratif, dari dalam penjara, kalau dia semata-mata mengandalkan kecerdasan otak kirinya.


Kini, dalam situasi krisis yang super krisis: krisis ekonomi, sosial politik, moral, dll, diperlukan pemimpin yang tak hanya memiliki kecerdasan otak kiri, tetapi harus diperkuat dengan otak kanannya. Masalah bangsa tak bisa selesai dengan 1+ 1 = 1. Apalagi dalam kondisi penuh gejolak dan ketidakpastian. Pengangguran tinggi, krisis energi dan krisis pangan melanda, harga minyak fluktuatif, harga bahan pokok meroket, musim berubah akibat pemanasan global, petani-petani gagal panen, dll. Apakah ini akan selesai dengan rumus-rumus yang dipelajari di kelas? Seorang ekonom yang bisa menyelesaikan masalah dengan patokan rumus baku saja, artinya dia cerdas. Tetapi ya.... hanya itu. Cerdas saja! Tetapi tidak ada value. Tidak ada makna. Dimana berbagai variabel yang berpengaruh vital, hanya bisa didapatkan dengan pemahaman penuh, empati, kreativitas, dan keberanian. Mengambil solusi ekonomi berdasarkan rumus, cukup seorang ekonom. Tetapi melahirkan kebijakan yang sepenuh-penuhnya untuk kebaikan rakyat, itu pemimpin.

Sebaliknya, hanya memiliki kemampuan otak kanan saja tentu juga berbahaya. Bayangkan, seorang pemimpin yang sangat memesona, jago berorasi, hebat dalam meyakinkan, tetapi nol dalam tindakan. Jangan-jangan hanya bisa obral janji, atau omong besar, atau kemampuannya dalam mencapai posisinya karena jago dalam bermanuver.


Memang, mengharapkan setiap pemimpin memiliki kecerdasan otak kiri dan kanan yang sama hebatnya, itu tak gampang. Pasti tak banyak, karena artinya itu hampir sempurna. Kalau pun ada, belum tentu mereka bersedia menduduki jabatan tertentu di negeri ini. Yang paling masuk akal adalah mensinergikan dua kehebatan ini, untuk dikerahkan bersama-sama dengan satu tujuan mulia: membangun bangsa dan negara. Bayangkan seandainya para politisi, pengusaha, pendidik, ilmuwan, seniman dan budayawan bersatu padu menyingkirkan egoisme dan kepentingan pribadi, bahu membahu mewujudkan Indonesia yang aman, adil makmur dan sejahtera lahir batin. Apakah ini sebuah utopia? (Nanik Ismiani, April 2009)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar