Senin, 15 Juni 2009

Sekolah Gratis Terminal Depok: Pendampingan Sejati Nurrochim


Tak bicara canggih, tapi bertindak canggih. Nurrochim mendedikasikan hidupnya untuk Sekolah Yayasan Bina Insan Mandiri. Sekolah gratis ini bertambah terus jumlah muridnya. Sebuah potret pendampingan sejati yang memiliki dampak kongkrit bagi masyarakat.


Anak-anak sekolah itu –dari Sekolah Dasar Hingga SMA- tumpah ruah dalam keramaian suasana sebelah terminal. Terminal Depok yang padat, panas dan berdebu. Tapi anak-anak itu begitu ceria dalam segala kesederhaan. Sederhana dalam penampilan (tanpa seragam sekolah), ruang sekolah (masjid, saung, rumah-rumah kecil sesak, yang semuanya tanpa kursi) dan fasilitas sekolah lainnya.


Sekolah itu adalah Sekolah Yayasan Bina Insan Mandiri (YBIM), persis bersebelahan dengan terminal Depok. Tak jarang orang mengenal sekolah ini sebagai ”Sekolah Gratis Terminal Depok”. Sekolah yang dirintis oleh Nurrochim ini, semula adalah sekolah untuk anak jalanan, termasuk ’preman’. Anak-anak di sela-sela kegiatannya di jalan –mengamen, dagang asongan, dan semacamnya- bisa sekolah di YBIM, kapan pun mereka ada waktu dan ada ’mood’.


Tentu saja hanya berlangsung kalau ada mood. Sebab anak jalanan sulit sekali untuk digiring ke kelas. Selain masalah mental, juga kebutuhan menuntut mereka menghabiskan waktu sebanyak mungkin –kalau mingkin 24 jam- di jalanan. Tanpa mood, tentu tak akan ada penghuni jalanan ini di sekolah ini. Tapi toh anak-anak itu rajin, karena mereka diperlakukan dengan cara spesial.


Saat itu –saat sekolah ini masih terbatas untuk anak jalanan- bukan pemandangan aneh kalau kita menyaksikan murid yang tergeletak mungkin tertidur, mungkin mabok, di saat guru sedang mengajar. Nurochim dan para guru sudah memiliki kualifikasi ’sabar’ dalam menghadapi para siswanya yang ’luar biasa’ ini.

Yang juga unik adalah ketika menjelang ujian. Nurrochim harus keliling mencari siswanya, sebab mereka berserakan dimana-mana, ada yang ngamen tidak pulang-pulang sampai lupa sekolah, di polsek karena kasus atau di departemen sosial karena kena garuk. Kalau sudah begini, Nurrochim pun berjuang mengambil dan mengumpulkan mereka.


Indikasi Kemiskinan Bertambah


Sekolah itu gratis. Karena misi sang pendiri adalah untuk mendidik, membina dan membawa para kaum miskin jalanan ini ke bangku sekolah. Lama kelamaan, ternyata banyak orangtua di lingkungan Depok yang berminat menyekolahkan anaknya ke Sekolah ini. ”Ini tandanya kemiskinan bertambah, sebab banyak yang tidak mampu menyekolahkan anaknya,” tutur Nurochim prihatin.


Tapi lihatlah, sekolah itu berkembang terus. Murid setiap tahun bertambah. Dari jam bebas dan hanya untuk anak jalanan yang adatnya sulit dikendalikan, kini meluas dari TK hingga SMA. Orangtua murid pun beragam, tukang jualan, kuli, satpam, kondektur, pembantu, tukang pijit, dan segala macam. Nurrochim suka menyebut sekolahnya ini kumpulan ’segala macam yang paling sudra dari semua kasta sudra’ . Malahan, para murid ini juga ’nyambi’ . Di luar jam sekolah mereka sibuk bekerja, ada yang jualan, menjadi tukang cuci, dan lain-lain. Hidup bagi mereka, tidak hanya duduk manis de sekolah, dan belajar. Justru sekolah, adalah bagian mewujudkan semangat yang harus mereka lakukan di antara pergulatan nasib untuk bertahan hidup.


Dengan siswa sekitar 4000, lahan pun meluas menjadi 2 hektar. Ada lapangan untuk bermain atau latihan seperti futsal, ada juga klinik. Klinik amat sangat sederhana, tapi di situ pasien dalam kondisi darurat ditangani: kecelakaan, demam berdarah, dan lain-lain, bahkan –sungguh tak terbayangkan- operasi sesar. ”Saya ingin ada rumah sakit gratis di area sekolah ini”, ujar Nurrochim.


Bukan basa basi kalau Nurochim mengangankan sebuah Rumah Sakit di kompleks sekolahannya. Kini, dia selalu berjuang membantu orang-orang tidak mampu yang sakit untuk bisa mendapatkan perawatan murah di di Rumah Sakit. Ia akan meradang dan mendatangi Rumah Sakit tersebut bila ada warga yang dierlakukan tak layak di rumah sakit. Pembawaannya yang lembut berubah garang bila sedang memperjuangkan kaum lemah ini. Apakah ketika mengurus mereka ketika di rumah sakit, mengambil anak-anak yang ditahan di Departemen Sosial, di kepolisian, dan lain-lain tempat para anak jalanan keluar masuk.


Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bagaimana nasib anak-anak sekolah ini? ”jelas terpukul. Tapi kalau dibilang sakit, mereka sudah nggak bisa merasakan sakit lagi,” jelas Nurrochim.


Tentu kenaikan transportasi membuat siswa-siswa yang tinggalnya tak hanya di sekitar terminal, tetapi juga agak jauh dan harus ditempuh dengan kendaraan, bertambah berat bebannya. Untuk itu, ditetapkan kebijakan khusus. Mereka boleh datang ke sekolah paling tidak dua kali seminggu, tidak harus seminggu penuh, asal mereka melapor ke guru, sehingga terdata.


Mutiara-Mutiara Kaum Pinggiran


Jelas luar biasa. Sekolahnya luar biasa. Siswanya luar biasa. Gratis. Pendekatan ke masing-masing siswa, dilakukan secara personal, karena masing-masing memiliki kondisi dan problem yang berbeda. Tempat riuh bersaing dengan riuhnya terminal, fasilitas minim, dengan guru-guru relawan (kebanyakan mahasiswa UI dan UNJ), tak tak mengubur potensi para siswanya. Dari sekolah-sekolah ini lahir mutiara-mutiara. Antara lain Octanas Abdurachman (Juara I Olimpiade Sains SD tahun 2007), Hilmi Yadi (Juara I matamatika SMP tahun 2005), Danissa Safitri (Juara III sains SMU tahun 2007), Septri Atmanegara (Juara I Lomba menulis). Tahun ini, salah seorang pengajarnya, Dwi Putro, juga terpilih sebagai Guru teladan se Jawa Barat.


Dan mulai banyak yang meminta Nurrochim untuk membuka sekolahan yang sama di berbagai tempat. Oleh karena itu, sekarang sudah ada tiga sekolah yang sama di tempat lain yaitu Bojong, Bekasi dan Bogor. Jumlah muridnya di tahun ajaran baru ini, hampir mencapai 5000 orang. Sekolah ini juga meluaskan jaringan ke berbagai perusahaan untuk menyalurkan para aluminya. Kini, alumninya sudah mulai banyak yang kerja ”kantoran”, seperti di Matahari, Ramayana, Satpam, dan lain-lain.


Yang juga luarbiasa, kompleks sekolah gratis ini pun juga bermanfaat untuk berbagai keperluan warga dan orangtua murid. Misalnya pertemuan berbagai kelompok. ”Masyarakat sekitar mengadakan pertemua rutin untuk menguatkan arti pentingnya persatuan, persaudaraan dan persahabatan,” ujar Nurrochim.


Pemandangan yang unik dan lucu adalah sunatan massal atau pernikahan massal. Para warga beramai-ramai melakukan sunatan atau pernikahan massal di kompleks sekolah gratis tersebut dan mengundang seluruh warga. Jadilah area yang meriah dan gegap gempita. Sebuah kebahagiaan tak ternilai bagi kaum peinggiran itu.

Dengan membesarnya sekolah dan jumlah murid, tentu tugas menjadi semakin berat, karena biaya dan fasilitas pun semakin besar. Tapi Nurrochim, yang berpostur kecil tapi berkekuatan besar itu tak pesimis. ”Selalu ada jalan,” ucapnya.


Nurrochim yang bersama keluarga melebur dalam kehidupan memperjuangan pendidikan bagi mereka yang membutuhkan itu, menawarkan berbagai jasa, seperti pembayaran listrik, PBB, dan apapun yang halal. Dan kenyataannya, perjuangan itu tak sia-sia. Begitu banyak orangtua yang menyerahkan masa depan anaknya kepada sekolah yang secara fisik ”seadanya” tersebut.


Dan dengan segala ketulusan, Nurrochim mengabdikan hidupnya untuk mengantar mereka ke masa depan yang lebih baik. Inilah sesungguhnya, bentuk pendampingan sejati. Tidak hanya di awang-awang, tapi tak pernah bersentuhan dengan realita. Nurrochim tidak bicara canggih tapi telah melakukan sesuatu yang canggih. Dia menyatu, melebur menjadi bagian dari masyarakat yang dibangun dan diperjuangkannya. (Cikeas IX-08)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar