Saat ini, ketika sosok Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN yang baru, menjadi perbincangan hangat, termasuk sisi lain dari pesonanya yaitu kesederhanaan dan integritasnya, saya jadi ingat pada masa masa menjadi mahasiswa. Salah satu topik yang sering menjadi perdebatan sejak jaman mahasiswa, di antara kami para aktivis pers kampus –bahkan hingga kini dengan teman-teman kerja maupun teman bersosial- adalah ‘sederhana’.
Banyak orang mengartikan, atau menterjemahkan kurang tepat ketika menyebut sikap atau gaya hidup seseorang ‘sederhana’. Banyak rekan –atau mungkin banyak orang lain juga- yang menterjemahkan sikap dan gaya hidup sederhana, dengan terjemahan yang ‘sederhana’ pula. Asal dia ‘me-rakyat’, dia sederhana. Merakyat bisa dilihat dari gaya mereka berpakaian yang apa adanya, cenderung murah dan kurang artistik. Merakyat dalam makan, berarti makan apa adanya, tidak perlu di restoran mahal, tetapi di warteg atau dimana saja.
Kebetulan, ‘geng’ aktivis saya ketika mahasiswa tidak termasuk yang dalam kategori itu, sehingga sering mendapat julukan sinis sebagai ‘aktivis wangi’. Kami tidak setuju dengan pendapat bahwa yang berpenampilan sederhana –apalagi cenderung lusuh- pasti berjiwa sederhana yang sesungguhnya. Jadi, meskipun konon aktivis harus ‘merakyat’ dalam artian berpenampilan agak sembarangan dan makan sembarangan, kami tidak memaksakan diri untuk tampil dan bersikap sok ‘merakyat’, meskipun juga bukan berarti kami tampil mewah, glamour atau berlebihan. Kenapa harus berpura pura tampil sederhana, cenderung sembarangan, padahal kita tidak merasa nyaman dengan itu, bahkan seperti tampil bukan sebagai diri kita?
Saya lihat teman teman saya satu ‘geng’, banyak yang berasal dari keluarga mene-ngah yang dari kecil juga tidak terbiasa dengan penampilan yang dikategorikan ‘sederhana’ oleh teman teman yang lainnya. Yang jelas, mereka mampu mencukupi semua kebutuhannya, keluarganya tidak korupsi, dan dengan penampilan tidak ‘sederhana’, mereka juga tetap memiliki inte-gritas dan kepedulian terhadap kondisi sosial di sekitarnnya, serta banyak berbuat kebaikan –malah terkadang lebih banyak dari teman yang dika-tegorikan ‘sederhana’-, mereka juga mau terjun dan bergaul dengan lingkungan sosial yang jauh lebih tidak beruntung dari mereka, mereka juga bersedia makan di warung dengan makanan yang biasa biasa saja. Dan di kemudian hari, terbukti, ketika godaan kekuasaan dan uang menguji mereka, saya melihat mereka tetap biasa biasa saja, tidak ada yang berubah, baik penampilan maupun integritasnya.
Lalu, pertanyaannya adalah, benar-kah yang dikategorikan ‘sederhana’ itu memang benar benar sederhana? Apakah bukan karena mereka ‘terpaksa’ sederhana, karena keadaan mengharuskan mereka sederhana? Kalau seorang aktivis luntang lantung, tidak pernah pergi kuliah –ngakunya sibuk mikir rakyat- sedangkan untuk membayar SPP harus pinjam sana pinjem sini, apakah dia juga disebut sederhana, karena -tentu saja- dia berpenampilan apa adanya dan makan dimana saja? Lalu, jawabannya menjadi lebih tidak sederhana lagi ketika kita mempertanyakan, apakah yang demikian ini yang aktivis sejati, yang lebih memiliki integritas? Dan apakah selalu, kesederhanaan berkorelasi positif dengan integritas?
Saya termasuk yang tidak mengkategorikan seseorang yang karena terpaksa harus sederhana karena keadaan, sebagai orang yang sederhana. Contohnya tadi, mahasiswa tidak mampu, biaya kuliah pun utang, tentu saja dia terpaksa hidup sederhana. Yang seperti ini, menurut saya belum tentu bersikap sederhana. Yang membuktikan apakah dia betul-betul sederhana adalah ketika datang kondisi lain sebagai variabel penguji kesederhanaan. Misalnya ketika datang jabatan dan uang. Masihkah dia berpenampilan dan bersikap apa adanya?
Saat ini, banyak sekali contoh aktivis politik yang kaya raya berpenampilan mewah, padahal sebelum-nya mereka berasal dari keluarga tidak mampu.dan bergaya hidup sederhana. Malah ada seorang aktivis terkenal dari sebuah partai kuat, yang berasal dari keluarga sangat sederhana, sebelumnya bersikap dan bergaya hidup sederhana, kini –tidak jelas kekayaannya darimana- membangun rumah mewah layaknya pengusaha sukses, dan bergonta ganti mengendarai mobil super mewah. Jadi, sederhanakah dia, saat masih menjadi aktivis mahasiswa? Berintegritaskah dia, ketika godaan kemewahan dan kekayaan datang, dia menikmatinya? Juga, sederhanakah seorang aktivis LSM, yang berpenampilan sederhana karena memang tidak memiliki penghasilan tetap, dan kemudian mengajukan proposal proposal program ‘rakyat’ sebagai sebuah proyek?
Topik ‘sederhana’ menjadi penting, karena kalau terlalu dini dan gampang kita melihat seseorang ‘sederhana’, dan kemudian kesederhanaan tersebut pasti berkorelasi positif dengan integritas, maka kita bisa memberikan penilaian yang salah, yang ujung ujungnya juga bisa memilih pemimpin yang salah.
Dan di mata saya, hingga saat ini –dan mudah mudahan seterusnya- Dahlan Iskan adalah salah satu tokoh yang sederhana dan berintegritas. Terlepas apakah kemeja atau sepatu kets nya mahal –karena dia memiliki kekayaan lebih yang asal usulnya jelas- tetapi dia tetap bersikap sederhana. Penampilan dan sikapnya tidak berubah, apa adanya seperti sebelum sebelumnya. Kesederhanaan dalam diri Dahlan berkorelasi positif dengan integritasnya. Bekerja keras dan mencurahkan dedikasi sepenuh jiwa untuk tugas tugas pen-tingnya, menolak fasilitas ketika dia mendapatkan jabatan, dimana orang lain berlomba lomba memanfaatkan jabatan untuk mengeruk fasilitas, bahkan korupsi sepuas puasnya.
Untuk masa depan bangsa dan Negara, Indonesia membutuhkan banyak Dahlan Iskan. (dimuat di Philanthropy, edisi 1, Januari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar