“Subsidi BBM Menimbulkan Pemborosan dan
Mempercepat Terjadinya Kelangkaan Energi”
Membuat
‘kencan’ dengan Sugiharto tidak perlu bertele-tele. Di tengah agendanya yang padat,
baik agenda sebagai Komisaris Utama dan anggota komisaris di beberapa
perusahaan, bisnis pribadi, serta acara keluarga, Sugiharto menyempatkan diri
untuk menemui Philanthropy.
Sore itu,
setelah beberapa saat menunggu di ruang meeting yang lega di salah satu
kantornya, akhirnya, Sugiharto yang baru saja ‘nyangkut’ di kantor salah
seorang Menteri, pun datang. Setelah
seharian menghabiskan energi di berbagai kantor, ia tetap siap untuk memberikan
waktunya secara penuh kepada Philanthropy. Meskipun hari itu Jumat sore, hari
kerja terakhir, dan dimana di akhir pekan dan pekan depannya Sugiharto akan ada
acara penting yang memerlukan persiapan khusus. Tapi toh, Sugiharto tampak
rileks, tetap segar, bersemangat, bertutur secara runtut dan enak, serta tak tampak
lelah sama sekali.
Di ruang
kerjanya di sebuah BUMN terbesar negeri ini, tampak beberapa ‘peralatan perang’
sekaligus ‘menu santapan’ nya, tak hanya file file pekerjaan, tetapi juga
buku-buku dan majalah. “Membaca itu my way of life, maka dimana pun saya, kapan
pun, saya memang tak lepas dari buku,”ujar Sugiharto yang hobi membaca buku,
terutama buku ekonomi dan spiritual. Maka tak heran, pria yang pernah menjadi
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) ini fasih bertutur soal
ekonomi maupun spiritual, disamping tentu saja topik topik lainnya seperti bisnis, energi, hingga sosial
dan politik.
Foto foto yang terpampang di ruang kerjanya pun memiliki makna. Bukan
sekadar menampilkan gambar bersama tokoh tokoh penting, tetapi juga menjadi bingkai
dari sebuah momen penting dan bermakna dalam hidupnya, seperti misalnya sebuah
foto bersama Bill Gates. “Siapa yang menyangka, seorang yang pernah amat sangat
miskin seperti saya, bisa bertemu dan berdialog langsung de-ngan seorang paling
kaya di dunia,” ujar Sugiharto yang di masa kecilnya menjalani kehidupan yang
penuh perjuangan.
Lelaki yang
selalu optimis dan berpikir positif ini pun berbagi kisah masa kecilnya,
perjalanan kariernya dan pandangan panda-ngan hidupnya, serta menguraikan
pendapatnya tentang berbagai hal termasuk masalah ketahanan energi, budaya
hemat energi, hingga masalah kemiskinan. Berikut intisarinya yang kami sajikan
dalam beberapa bagian tulisan.
Persaingan
antar Negara salah satunya ditentukan oleh keta-hanan energi dan cadangan
ener-gi. Menurut Bapak, bagaimana dengan ketahanan dan cadangan energi
Indonesia?
Saya optimis
Indonesia memiliki potensi cadangan
energi yang sa-ngat besar. Bukan hanya dari minyak dan gas bumi (Migas)
konvensional, tetapi dari energi baru dan terbarukan, dan juga minyak dan gas
bumi (migas) Non Konvensional. Dari Batubara saja bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL)
atau dijadikan gas dan gas bisa juga dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas
bisa diperoleh dari Gas Alam (Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF),
Shale Gas (Potensi 574 TCF) dan dari Methane Hydrate (Potensi 625 TCF).
Migas Non Konvensional merupakan salah satu sumber
daya alam yang strategis yang cukup potensial untuk memasok kebutuhan energi
nasional, sehingga dalam rangka diversifikasi energi, migas Non Konvensional perlu dikembangkan secara
optimal.
Tapi proses
membuktikan potensi yang ada tersebut membutuhkan waktu yang lama?
Perlu
dorongan yang kuat untuk menjadikan potensi menjadi terbukti, yaitu dengan
meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapangan–lapangan baru dan
mening-katkan Enhanced Oil Recovery
di lapangan-lapangan yang sudah ada, dengan berbagai kebijakan yang
mendorong ke arah sana, seperti meningkatkan Iklim Investasi Migas dengan
regulasi dan birokrasi serta Koordinasi antar Institusi dan Birokrat yang
mendukungnya.
Juga harus
diberikan Insentif bagi penambahan produksi akibat meningkatkan Enhanced Oil
Recovery (EOR) Apabila terdapat Investasi untuk eksplorasi sehingga
seperempat dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas (Potensi 574 TCF) dan Methane
Hydrate (Potensi 625 TCF) dapat ditemukan maka kita mendapat Cadangan Terbukti
sebesar 413 TCF.
Lalu,
bagaimana dari demand side-nya?
Harus ada
politik energi yang mengatur penggunaan BBM seperti pembatasan BBM bersubsidi,
politik transportasi yang me-nguntungkan
masyarakat banyak, politik industri menyangkut industri otomotif yang tidak
semata mata menguntungkan dari sisi pengusaha, dan lain lain secara terpadu dan
koordinatif.
Dari pengguna
energi pun, harus dibudayakan untuk menggunakan energi secara cerdas. Harus
hemat energi, karena Indonesia termasuk Negara yang pa-ling boros energi.
Mengenai subsidi BBM yang sangat besar, bagaimana Bapak melihatnya?
Tentu, subsidi BBM yang sangat besar tak menguntungkan. Postur APBN
jelas-jelas terbebani. Sebagai catatan, dalam kurun 2005 hingga 2010 saja, APBN
kita telah mengeluarkan sedikitnya Rp 627 trilyun untuk pos subsidi BBM. Tak
hanya itu, subsidi BBM juga telah menciptakan ketidakadilan, lantaran penikmat
subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah ke atas. Survey membuktikan
bahwa lebih dari 90% Subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat yang bukan golongan
termiskin (2% dari pendapatan terbawah). Di sisi lain, alokasi subsidi BBM yang
besar menyebabkan anggaran belanja untuk sektor lainnya (termasuk bagi kelompok
miskin) menjadi berkurang.
Tidak adanya
pengendalian konsumsi BBM bersubsidi juga menimbulkan efek negatif lainnya yang
tak kalah berat. BBM bersubsidi telah menimbulkan pemborosan dalam hal konsumsi
energi tak terbarukan. Sekalipun menjadi dis-insentif bagi dunia usaha untuk
masuk ke sektor energi terbarukan yang
juga lebih ramah lingkungan. Kondisi ini sejatinya sama saja mempercepat proses
terjadinya kelangkaan energi, disamping menaikkan tingkat polusi udara yang membahayakan lingkungan.
BBM
bersubsidi juga telah menjadi insentif bagi masyarakat untuk berkendaraan
pribadi, yang justru menimbulkan persoalan pelik bagi sistem transportasi
darat, khususnya di kota-kota besar. Akibatnya, industri transportasi massal
menjadi tidak menarik, yang sebenarnya diharapkan dapat memecahkan masalah
keruwetan transportasi darat. Di sisi lain, BBM bersubsidi juga telah menimbulkan
ketidakadilan antar wilayah, karena penikmat subsidi BBM justru adanya di
kota-kota besar dan golongan kaya.
Jadi jelas, mempertahankan kebijakan subsidi BBM
sebenarnya lebih banyak efek negatifnya, diban-ding manfaatnya. Oleh karenanya,
kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi semestinya segera
direali-sasikan. Bila tidak dibatasi, dikhawatirkan konsumsi BBM bersubsidi di
tahun-tahun mendatang akan semakin besar, yang tentunya berpotensi menimbulkan
implikasi negatif yang lebih berat lagi. Kini, di tangan pemerintah lah bola
untuk menetapkan opsi pengaturan penggunaan BBM bersubsidi berada.
Cara yang
paling tepat dalam menerapkan pembatasan BBM bersubsidi?
Sebetulnya,
banyak opsi yang dapat diterapkan pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM
bersubsidi. Melarang kendaraan pribadi menggunakan BBM bersubsidi bisa menjadi
alternatif untuk menekan angka subsidi. Opsi ini hanya memberikan keleluasaan
bagi kendaraan umum untuk menggunakan BBM bersubsidi. Opsi lainnya adalah
dengan menaikkan harga BBM bersubsidi setidaknya pada harga keekonomiannya,
sehingga tidak ada beban subsidi yang
ditanggung pemerintah.
Di luar
opsi-opsi tersebut, perlu dipertimbangkan pula kebijakan membagi beban (sharing
the pain) subsidi BBM ini ke daerah.
Perlu dike-tahui bahwa kebijakan subsidi BBM yang ditanggung pemerintah
pusat adalah produk kebijakan, ketika sistem keuangan negara (baik sisi
penerimaan maupun belanja) masih tersentralisasi. Dahulu, tidak ada kewajiban
bagi pusat untuk membagi pendapatan (revenue sharing) ke daerah.
Sehingga wajar bila tanggung jawab beban (termasuk beban subsidi BBM) juga
melekat menjadi tanggung jawab pusat.
Dengan kebijakan harga BBM bersubsidi di setiap regional, tidak hanya mengurangi beban subsidi, tetapi juga
sekaligus guna menciptakan distribusi kesejahteraan yang lebih baik, pembagian
beban yang lebih adil, juga untuk mengatasi beberapa persoalan di sektor
transportasi.
Lalu, bagaimana pengurangan subsidi ini
dikaitkan dengan pengentasan
kemiskinan di Indonesia?
Hasil pengurangan subsidi ini kemudian dialihkan untuk memperbesar
subsidi bagi program jaring pengaman sosial, ketahanan pangan, pendidikan,
kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang dibutuhkan masyarakat bawah.
Termasuk pula untuk memperbesar anggaran bagi pembangunan infrastruktur
transportasi dan infrastruktur migas. Tidak hanya itu, kebijakan pengurangan
subsidi BBM juga merupakan langkah yang bijak tidak hanya demi keadilan tetapi
juga untuk menjaga ketahanan energi di masa mendatang
Dari sisi
cara menggunakan hemat energi yang cerdas, bagaimana membangun kebiasaan
sehingga hemat energi menjadi budaya pada masyarakat kita?
Selain
sosialisasi kepada publik untuk hidup hemat energi, juga harus ada pendidikan
hemat energi yang dimulai sejak dini. Hidup hemat energi harus diajarkan dan
diterapkan mulai dari sekolah sekolah. Para pejabat juga harus memulai dan
memberi contoh hemat energi. Kita semua, harus memulai dari diri sendiri untuk
hemat energy, dimulai dari hal hal kecil, seperti mematikan lampu yang tidak
perlu, mencabut colokan listrik yang tidak digunakan, mematikan TV bila tidak
dilihat, dan sebagainya.
Bicara
mengenai kemiskinan di Indonesia, sepertinya penanganan masalah kemiskinan
sangat lamban. Bagaimana menurut bapak?
Bila menggunakan kriteria secara internasional yang ditetapkan Bank
Dunia, angka kemiskinan di Indonesia tergolong tinggi. Sesungguhnya sudah banyak upaya dilakukan
sejak 2005 yang lalu melalui berbagai program pemerintah seperti PNPM, BOS,
Bebas Uang Sekolah, BLT, dsb, namun selain itu, laju penurunan tingkat
kemiskinan juga masih bejalan lambat, terutama bila dikaitkan dengan besarnya
anggaran kemiskinan yang disediakan pemerintah. Sebagai ilustrasi, tahun 2004
anggaran Rp 18 trilyun, dan pada tahun 2010 Rp 94 trilyun. Peningkatan
anggaran yang sangat signifikan, tetapi
belum mampu menekan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Lalu,
bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Menurut saya,
perlu pendekatan baru dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama untuk mendapatkan pendekatan baru
tersebut diperlukan keterbukaan semua pihak untuk menyajikan peta kemiskinan di
Indonesia berdasarkan kebutuhan hidup yang riil di masyarakat. Melalui
keterbukaan ini Pemerintah akan bisa mengetahui secara riil kebutuhan yang
diperlukan dalam upayanya melakukan pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya bila BPS meninjau kembali ukuran
penetapan batas kemiskinan yang dipergunakan, beralih menggunakan standar
internasional yang diterapkan oleh bank Dunia.
Melihat angka kemiskinan yang begitu besar, memang tak bisa mengandalkan
APBN, diperlukan keterlibatan pihak lain terutama korporasi, baik itu BUMN,
BUMD maupun swasta. Dan karena diperlukan keterlibatan pihak korporasi inilah
maka kebijakan pengentasan kemiskinan dan penngkatan kesejahteraan masyarakat
ke depan diperlukan pendekatan baru yang
berkelanjutan.
Tak terasa, hari telah berganti malam, telah hampir empat jam bersama Sugiharto. Waktu
untuk mendengar-kan berbagai kisah dan penuturan dari pria yang telah menjalani
berbagai profesi ini –akademisi, pe-ngusaha, dan pemerintahan- begitu penuh
manfaat, sehingga –seandainya waktu masih panjang- masih banyak hal yang ingin
kita dapatkan darinya.
Beberapa kali
Sekretarisnya mengi-ngatkan waktu sembahyang telah tiba. Sugiharto, yang selalu
bersyukur dalam setiap apa pun yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, bersiap untuk menemui dan bersujud kepada
Sang Illahi.
Sore itu pun,
menjadi penggalan waktu yang harus disyukuri. Banyak pelajaran dan inspirasi
yang bisa dibagi, sebagai bagian dari misi Philanthropy untuk menyebarkan ruh
kebaikan dan energi positif bagi para pembacanya. (NI/Philanthropy 2-Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar