Sabtu, 12 Mei 2012

DR. SUGIHARTO, SE, MBA, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero)

“Subsidi BBM Menimbulkan  Pemborosan dan
Mempercepat Terjadinya Kelangkaan Energi”

Membuat ‘kencan’ dengan Sugiharto tidak perlu bertele-tele. Di tengah agendanya yang padat, baik agenda sebagai Komisaris Utama dan anggota komisaris di beberapa perusahaan, bisnis pribadi, serta acara keluarga, Sugiharto menyempatkan diri untuk menemui Philanthropy.

Sore itu, setelah beberapa saat menunggu di ruang meeting yang lega di salah satu kantornya, akhirnya, Sugiharto yang baru saja ‘nyangkut’ di kantor salah seorang Menteri, pun datang.  Setelah seharian menghabiskan energi di berbagai kantor, ia tetap siap untuk memberikan waktunya secara penuh kepada Philanthropy. Meskipun hari itu Jumat sore, hari kerja terakhir, dan dimana di akhir pekan dan pekan depannya Sugiharto akan ada acara penting yang memerlukan persiapan khusus. Tapi toh, Sugiharto tampak rileks, tetap segar, bersemangat, bertutur secara runtut dan enak, serta tak tampak lelah sama sekali.

Di ruang kerjanya di sebuah BUMN terbesar negeri ini, tampak beberapa ‘peralatan perang’ sekaligus ‘menu santapan’ nya, tak hanya file file pekerjaan, tetapi juga buku-buku dan majalah. “Membaca itu my way of life, maka dimana pun saya, kapan pun, saya memang tak lepas dari buku,”ujar Sugiharto yang hobi membaca buku, terutama buku ekonomi dan spiritual. Maka tak heran, pria yang pernah menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) ini fasih bertutur soal ekonomi maupun spiritual, disamping tentu saja topik topik  lainnya seperti bisnis, energi, hingga sosial dan politik.

Foto foto yang terpampang di ruang kerjanya pun memiliki makna. Bukan sekadar menampilkan gambar bersama tokoh tokoh penting, tetapi juga menjadi bingkai dari sebuah momen penting dan bermakna dalam hidupnya, seperti misalnya sebuah foto bersama Bill Gates. “Siapa yang menyangka, seorang yang pernah amat sangat miskin seperti saya, bisa bertemu dan berdialog langsung de-ngan seorang paling kaya di dunia,” ujar Sugiharto yang di masa kecilnya menjalani kehidupan yang penuh perjuangan.

Lelaki yang selalu optimis dan berpikir positif ini pun berbagi kisah masa kecilnya, perjalanan kariernya dan pandangan panda-ngan hidupnya, serta menguraikan pendapatnya tentang berbagai hal termasuk masalah ketahanan energi, budaya hemat energi, hingga masalah kemiskinan. Berikut intisarinya yang kami sajikan dalam beberapa bagian tulisan.

Persaingan antar Negara salah satunya ditentukan oleh keta-hanan energi dan cadangan ener-gi. Menurut Bapak, bagaimana dengan ketahanan dan cadangan energi Indonesia?

Saya optimis Indonesia memiliki potensi  cadangan energi yang sa-ngat besar. Bukan hanya dari minyak dan gas bumi (Migas) konvensional, tetapi dari energi baru dan terbarukan, dan juga minyak dan gas bumi (migas) Non Konvensional. Dari Batubara saja  bisa dibuat cair (Coal To Liquid atau CTL) atau dijadikan gas dan gas bisa juga dibuat cair (Gas To Liquid atau GTL). Gas bisa diperoleh dari Gas Alam (Potensi 335 TCF), dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas (Potensi 574 TCF) dan dari Methane Hydrate (Potensi 625 TCF).

Migas  Non Konvensional merupakan salah satu sumber daya alam yang strategis yang cukup potensial untuk memasok kebutuhan energi nasional, sehingga dalam rangka diversifikasi energi, migas  Non Konvensional perlu dikembangkan secara optimal.

Tapi proses membuktikan potensi yang ada tersebut membutuhkan waktu yang lama?

Perlu dorongan yang kuat untuk menjadikan potensi menjadi terbukti, yaitu dengan meningkatkan eksplorasi migas untuk menemukan lapangan–lapangan baru dan mening-katkan Enhanced Oil Recovery  di lapangan-lapangan yang sudah ada, dengan berbagai kebijakan yang mendorong ke arah sana, seperti meningkatkan Iklim Investasi Migas dengan regulasi dan birokrasi serta Koordinasi antar Institusi dan Birokrat yang mendukungnya.

Juga harus diberikan Insentif bagi penambahan produksi akibat meningkatkan Enhanced Oil Recovery (EOR) Apabila terdapat Investasi untuk eksplorasi sehingga seperempat dari CBM (Potensi 454 TCF), Shale Gas (Potensi 574 TCF) dan Methane Hydrate (Potensi 625 TCF) dapat ditemukan maka kita mendapat Cadangan Terbukti sebesar 413 TCF.

Lalu, bagaimana dari demand side-nya?

Harus ada politik energi yang mengatur penggunaan BBM seperti pembatasan BBM bersubsidi, politik  transportasi yang me-nguntungkan masyarakat banyak, politik industri menyangkut industri otomotif yang tidak semata mata menguntungkan dari sisi pengusaha, dan lain lain secara terpadu dan koordinatif.

Dari pengguna energi pun, harus dibudayakan untuk menggunakan energi secara cerdas. Harus hemat energi, karena Indonesia termasuk Negara yang pa-ling boros energi. Mengenai subsidi BBM yang sangat besar, bagaimana Bapak melihatnya?

Tentu, subsidi BBM yang sangat besar tak menguntungkan. Postur APBN jelas-jelas terbebani. Sebagai catatan, dalam kurun 2005 hingga 2010 saja, APBN kita telah mengeluarkan sedikitnya Rp 627 trilyun untuk pos subsidi BBM. Tak hanya itu, subsidi BBM juga telah menciptakan ketidakadilan, lantaran penikmat subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah ke atas. Survey membuktikan bahwa lebih dari 90% Subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat yang bukan golongan termiskin (2% dari pendapatan terbawah). Di sisi lain, alokasi subsidi BBM yang besar menyebabkan anggaran belanja untuk sektor lainnya (termasuk bagi kelompok miskin) menjadi berkurang.

Tidak adanya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi juga menimbulkan efek negatif lainnya yang tak kalah berat. BBM bersubsidi telah menimbulkan pemborosan dalam hal konsumsi energi tak terbarukan. Sekalipun menjadi dis-insentif bagi dunia usaha untuk masuk ke sektor energi terbarukan  yang juga lebih ramah lingkungan. Kondisi ini sejatinya sama saja mempercepat proses terjadinya kelangkaan energi, disamping menaikkan  tingkat polusi  udara yang membahayakan lingkungan.

BBM bersubsidi juga telah menjadi insentif bagi masyarakat untuk berkendaraan pribadi, yang justru menimbulkan persoalan pelik bagi sistem transportasi darat, khususnya di kota-kota besar. Akibatnya, industri transportasi massal menjadi tidak menarik, yang sebenarnya diharapkan dapat memecahkan masalah keruwetan transportasi darat. Di sisi lain, BBM bersubsidi juga telah menimbulkan ketidakadilan antar wilayah, karena penikmat subsidi BBM justru adanya di kota-kota besar dan golongan kaya.

Jadi jelas, mempertahankan kebijakan subsidi BBM sebenarnya lebih banyak efek negatifnya, diban-ding manfaatnya. Oleh karenanya, kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi semestinya segera direali-sasikan. Bila tidak dibatasi, dikhawatirkan konsumsi BBM bersubsidi di tahun-tahun mendatang akan semakin besar, yang tentunya berpotensi menimbulkan implikasi negatif yang lebih berat lagi. Kini, di tangan pemerintah lah bola untuk menetapkan opsi pengaturan penggunaan BBM bersubsidi berada.

Cara yang paling tepat dalam menerapkan pembatasan BBM bersubsidi?

Sebetulnya, banyak opsi yang dapat diterapkan pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Melarang kendaraan pribadi menggunakan BBM bersubsidi bisa menjadi alternatif untuk menekan angka subsidi. Opsi ini hanya memberikan keleluasaan bagi kendaraan umum untuk menggunakan BBM bersubsidi. Opsi lainnya adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi setidaknya pada harga keekonomiannya, sehingga tidak ada beban subsidi yang ditanggung pemerintah.

Di luar opsi-opsi tersebut, perlu dipertimbangkan pula kebijakan membagi beban (sharing the pain) subsidi BBM ini ke daerah. Perlu dike-tahui bahwa kebijakan subsidi BBM yang ditanggung pemerintah pusat adalah produk kebijakan, ketika sistem keuangan negara (baik sisi penerimaan maupun belanja) masih tersentralisasi. Dahulu, tidak ada kewajiban bagi pusat untuk membagi pendapatan (revenue sharing) ke daerah. Sehingga wajar bila tanggung jawab beban (termasuk beban subsidi BBM) juga melekat menjadi tanggung jawab pusat.

Dengan kebijakan harga BBM bersubsidi di setiap regional, tidak hanya mengurangi beban subsidi, tetapi juga sekaligus guna menciptakan distribusi kesejahteraan yang lebih baik, pembagian beban yang lebih adil, juga untuk mengatasi beberapa persoalan di sektor transportasi.

Lalu, bagaimana pengurangan subsidi ini  dikaitkan dengan  pengentasan kemiskinan di Indonesia?

Hasil pengurangan subsidi ini kemudian dialihkan untuk memperbesar subsidi bagi program jaring pengaman sosial, ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang dibutuhkan masyarakat bawah. Termasuk pula untuk memperbesar anggaran bagi pembangunan infrastruktur transportasi dan infrastruktur migas. Tidak hanya itu, kebijakan pengurangan subsidi BBM juga merupakan langkah yang bijak tidak hanya demi keadilan tetapi juga untuk menjaga ketahanan energi di masa mendatang

Dari sisi cara menggunakan hemat energi yang cerdas, bagaimana membangun kebiasaan sehingga hemat energi menjadi budaya pada masyarakat kita?

Selain sosialisasi kepada publik untuk hidup hemat energi, juga harus ada pendidikan hemat energi yang dimulai sejak dini. Hidup hemat energi harus diajarkan dan diterapkan mulai dari sekolah sekolah. Para pejabat juga harus memulai dan memberi contoh hemat energi. Kita semua, harus memulai dari diri sendiri untuk hemat energy, dimulai dari hal hal kecil, seperti mematikan lampu yang tidak perlu, mencabut  colokan listrik  yang tidak digunakan, mematikan TV bila tidak dilihat, dan sebagainya.

Bicara mengenai kemiskinan di Indonesia, sepertinya penanganan masalah kemiskinan sangat lamban. Bagaimana menurut bapak?

Bila menggunakan kriteria secara internasional yang ditetapkan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia tergolong tinggi.  Sesungguhnya sudah banyak upaya dilakukan sejak 2005 yang lalu melalui berbagai program pemerintah seperti PNPM, BOS, Bebas Uang Sekolah, BLT, dsb, namun selain itu, laju penurunan tingkat kemiskinan juga masih bejalan lambat, terutama bila dikaitkan dengan besarnya anggaran kemiskinan yang disediakan pemerintah. Sebagai ilustrasi, tahun 2004 anggaran Rp 18 trilyun, dan pada tahun 2010 Rp 94 trilyun. Peningkatan anggaran  yang sangat signifikan, tetapi belum  mampu menekan tingkat  kemiskinan secara signifikan. 

Lalu, bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Menurut saya, perlu pendekatan baru dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama untuk mendapatkan pendekatan baru tersebut diperlukan keterbukaan semua pihak untuk menyajikan peta kemiskinan di Indonesia berdasarkan kebutuhan hidup yang riil di masyarakat. Melalui keterbukaan ini Pemerintah akan bisa mengetahui secara riil kebutuhan yang diperlukan dalam upayanya melakukan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya bila BPS meninjau kembali ukuran penetapan batas kemiskinan yang dipergunakan, beralih menggunakan standar internasional yang diterapkan oleh bank Dunia.
Melihat angka kemiskinan yang begitu besar, memang tak bisa mengandalkan APBN, diperlukan keterlibatan pihak lain terutama korporasi, baik itu BUMN, BUMD maupun swasta. Dan karena diperlukan keterlibatan pihak korporasi inilah maka kebijakan pengentasan kemiskinan dan penngkatan kesejahteraan masyarakat ke depan diperlukan  pendekatan baru yang berkelanjutan.

Tak terasa, hari telah berganti malam, telah  hampir empat jam bersama Sugiharto. Waktu untuk mendengar-kan berbagai kisah dan penuturan dari pria yang telah menjalani berbagai profesi ini –akademisi, pe-ngusaha, dan pemerintahan- begitu penuh manfaat, sehingga –seandainya waktu masih panjang- masih banyak hal yang ingin kita dapatkan darinya.
Beberapa kali Sekretarisnya mengi-ngatkan waktu sembahyang telah tiba. Sugiharto, yang selalu bersyukur dalam setiap apa pun yang diberikan oleh Tuhan kepadanya,  bersiap untuk menemui dan bersujud kepada Sang Illahi.

Sore itu pun, menjadi penggalan waktu yang harus disyukuri. Banyak pelajaran dan inspirasi yang bisa dibagi, sebagai bagian dari misi Philanthropy untuk menyebarkan ruh kebaikan dan energi positif bagi para pembacanya. (NI/Philanthropy 2-Maret 2012)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar