Sudah lama saya pingin nonton acara “Dahsyat” tanpa Luna Maya. Nggak nyaman saja lihat dia. Garing dan judes. Tapi ternyata pihak Dahsyat masih melihat ‘nilai lebih’ dalam diri Luna. Dan mungkin memang banyak yang nge-fans sama Luna, jadi ya sah-sah saja. Kalau hanya saya nggak suka Luna, apalagi di acara Dahsyat, ya sayalah yang mestinya nggak nonton Dahsyat. Sederhana kan? It’s not a big deal, kata keponakan saya.
Pada catatan awal tahun (2010): “Facebook, Luna Maya, infotaintment dan Gurita Cikeas”, (di blog ini) saya juga menyinggung tentang heboh perseteruan Luna dengan infotaintment. Saya bukan pecandu infotaintment, jadi kalau saya lebih menyoroti sikap Luna yang tidak mencerminkan “kelas’nya sebagai artis papan atas, sama sekali bukan karena saya membela infotaintment.
Saat itu, saya berharap –entah kenapa harapan itu begitu besar- Luna tidak jadi presenter Dahsyat lagi, dan tidak ada lagi brand atau produk yang mau menggunakan dia sebagai bintang iklan. Dan lagi-lagi, harapan saya tak terpenuhi. Luna masih ketawa-ketawa di Dahsyat, dan Lux, sebuah merek top, dalam campaignya yang ‘dahsyat’ menjadikan Luna –berpasangan dengan Ariel- sebagai brand ambassador-nya. Wah, kok saya kecewa ya?
Mungkin, banyak yang memandang, kasus Luna vs infotaintment bukan kasus besar, tidak signifikan dampaknya terhadap citra Luna. Mungkin juga banyak yang cenderung menyalahkan Infotaintment. Dan mungkin juga pesona Luna Maya sedemikian besar, sehingga kesalahan-kesalahannya -yang dianggap kecil- tidak ada artinya. Padahal menurut saya,meskipun terlihat kecil, tapi mencerminkan siapa Luna sebenarnya, apalagi tentang bicara kasar atau umpatan (di depan publik, atau di media/twitter) menurut saya ini sebuah masalah mendasar, menyangkut etika dan tatakrama, bahkan mungkin juga sifat dasar orang tersebut.
Dikaitkan dengan masalah ‘citra’, menurut saya, ini jelas sangat erat berkaitan. Sikap tidak simpatik, cenderung arogan, jelas bukan sikap anggun dan elegan dari seorang bintang pujaan. Padahal, citra positif inilah yang dibangun selama bertahun-tahun oleh Lux. Yach, tapi pastinya pihak Unilever, pemilik brand Lux, jauh lebih profesional dan paham tentang brand-nya dan bintang-bintang yang pantas dipilihnya.
Lux termasuk salah satu brand yang strategi ‘brand building’nya sangat jitu, dijalankan dengan serius dan konsisten. Dengan tagline ‘sabun kecantikan bintang-bintang film’, Lux menjadi ‘milik’ siapa saja yang dirinya ‘merasa’atau menginginkan seperti seorang bintang film. Meski target konsumen Lux bukan wanita kelas B+ ke atas, tetapi Lux selalu menampilkan bintang papan atas (top, mahal, dikagumi, bercitra positif). Kalau di dunia sepakbola ada Real Madrid, yang selalu ‘menggaet bintang-bintang terbaik dunia, maka Lux selalu mengaaet bintang paling top di masanya, sebut saja Widyawati, Marini, Leny Marlina, berikutnya Ida Iasha, ke sini lagi Nadya Hutagalung, Tamara Blezinsky, Maria Renata, Dian Sastro, dan lain-lain, hingga Luna Maya…
Memang ada yang tidak terlalu ber’citra’ atas, tetapi karena ‘rating’nya yang tinggi,maka sempat juga dipasang Desy Ratnasaridan Bella Saphira. (dan konon, perceraian Desy saat itu sempat berpengaruh terhadap citra Desy). Bagi artis yang menerima ’mahkota’ sebagai bintang Lux, bisa menjadikan ‘kelas’nya naik. Ada kesan, artis yang menjadi bintang lux terpilih dengan sangat selektif, tidak hanya cantik tetapi dengan sederet ‘nilai’ lain, yang tentu sejalan atau bahkan akan mengangkat citra yang dibangun Lux. Maka, peraturan yang diterapkan kepada si artis sebagai brand ambassador, juga sangat ketat, salah satunya harus selalu menjaga citra positif.
Pesan yang disampaikan dalam campaign-campaign Lux pun konsisten dengan eksekusi yang ciamik. Anggun, elegan, mewah, pusat perhatian, diterjemahkan dengan sangat ‘tidak murahan’…
Brand building Lux yang telah dijalankan sedemikian lama dan konsisten, memang terlihat hasilnya. Meski relatif tidak mahal, tetapi Lux tidak terkesan sabun murah. Ibaratnya, seorang pembantu pun mampu membeli lux dan merasa menjadi wanita dari kelas tertentu. Majikannya juga tak malu memakai sabun Lux, karena citra yang sudah terbangun sedemikian kuat, Lux bukan sabun kelas bawah. Dan untuk lebih memperkuat pangsa pasar atasnya, maka diciptakan Lux shower, agar konsumen yang di atas, tetap yakin dengan Lux, dan tidak lari ke brand lain.
Maka, saya heran, ketika campaign Lux versi Luna demikian gencar, pasca kejadian Luna-infotaintment. Saya juga heran, dengan diubahnya konsep iklan Lux yang dibintangi Luna ini. Di sini, tidak lagi menampilkan Luna secara eksklusif, tetapi –melenceng dari konsep sebelum-sebelumnya- menampilkan sosok gadis cantik “lux” yang ‘menggairahkan’ sang pasangan (Ariel), jadinya tak beda dengan konsep iklan berbagai produk lain (tak hanya sabun malah, tapi juga beberapa merek produk kosmetik). Hanya, memang eksekusinya yang dibuat agak tidak biasa. Cukup simpel, adegan Ariel ‘mengejar’ Luna, atau Luna ‘menggoda” Ariel yang matanya tertutup. Maksudnya, dengan mata tertutup pun Ariel bisa menemukan Luna, karena ‘bau’ khas (Lux, tentu saja).
Kekuatan terbesar dari konsep iklan ini, ya terletak pada Luna-Ariel-nya (dengan asumsi, citra Luna dan Ariel yang saat itu, dikira baik-baik saja). Barangkali juga, kekuatan Luna dan Ariel saat itu jugalah yang mendorong pemilik brand (yang tentunya sudah sangat piawai dalam menangani brand building dari berbagai brand yang dikelolanya) untuk menampilkan Luna sekaligus dengan Ariel dan membuat konsep campaign Lux kali ini berbeda. Meski menurut saya (kalaupun citra Luna dan Ariel baik) ini tak menambah kuat citra “mewah, elegan, pusat perhatian” yang selama ini dibangun.
Barulah kedahsyatan video hot itu yang akhirnya membuat Lux tak lagi dibintangi Luna (Luna tak lagi menjadi brand ambassador Lux), dan saya bisa nonton Dahsyat tanpa Luna Maya.
Dan ini memang sebuah risiko dari strategi brand buliding yang mengandalkan ”pesona” sang bintang untuk memperkuat citra brand. Tak gampang menerapkan tolok ukur citra positif seorang bintang. Dan terlebih lagi, seorang bintang juga manusia biasa, yang –tentu tidak semua- amat rentan dalam balutan popularitas dan puji puja.
Tak penting apakah Luna dipecat atau mengundurkan diri sebagai brand ambassador Lux (pihak Lux tentu mengambil keputusan dengan bijak dan profesional). Juga, apakah Luna hanya menjadi sebuah ’korban’ dari ’tujuan’ apa pun penyebaran video hot tersebut, itu lain konteks.
Yang penting untuk dicatat adalah sebenarnya sudah lama attitude Luna tak mencerminkan dirinya sebagai seorang artis papan atas. Attitudenya –yang akhirnya berpengaruh dahsyat terhadap citranya- tentu saja tak sesuai dengan citra yang dibangun Lux selama puluhan tahun.
Sebuah kasus menarik tentang pengaruh citra bintang terhadap citra brand, dan lebih darii tu, merupakan pelajaran yang amat sangat penting dan berharga menyangkut perilaku (moral) para selebrities kita.
senang bisa membaca ulasan segar,menghibur dan lugas dari seorang Mba "NAI" mengingatkan saya saat-saat masih di Majalah Cakram. Saya sependapat dengan ulasan Mba Nai...wah kalau saya sepertinya belum pernah nonton dahsyat sekalipun Mba, dan memang tidak terlintas sedikitpun untuk menikmati acara tersebut, selain itu juga saya masih belum mengerti di mana letak kedahsyatan acara tersebut.
BalasHapusHalo Tan. Wah seneng banget Tanti sudah punya waktu buka blog. hehehe... Sudah merdeka ya Tan??? Kalau eksekutif sibuk macam Tanti (dulu) mana sempet lihat dahsyat? Nah kalau aku, kalau lagi bosen nonton berita dan diskusi-diskusi politik yang terkadang tak berujung, atau nonton sinetron yang juga suka tak berujung (Lho, politik dan sinetron kok mirip?), maka musik jadilumayan menghibur. Selain itu, memang aku juga punya 'kewajiban' untuk memelototiprogram-program TV Tan. hehehe....
BalasHapus